Selasa, 10 Juni 2008

Contoh Beberapa Judul Hasil Penelitian

Article 1.
DIFUSI ASTEMIZOL MELEWATI MEMBRAN ISOPROPIL MIRISTAT
ASTEMIZOLE DIFFUSION THROUGH ISOPROPYL MYRISTATE MEMBRANE

Esti Hendradi * dan Suwaldi Martodihardjo ** (* Fakultas Farmasi UNAIR, ** Fakultas Farmasi UGM)

ABSTRAK
Astemizol adalah antihistamina H1 yang poten dan mengalami metabolisme ekstensif di dalam hati. Salah satu alternatif untuk menghindari metabolisme itu adalah astemizol digunakan secara transdermal. Penghalang utama obat melewati kulit adalah stratum korneum yang sering disimulasikan dengan membran Millipore yang diimpregnasi dengan isopropil miristat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui difusi astemizol melewati membran yang merupakan simulasi kulit, dibuat dengan cara Millipore diimpregnasi dengan isopropil miristat. Media penerima yang digunakan adalah larutan dapar fosfat pH 6,0 dengan konsentrasi 0,01 M. Percobaan difusi dilakukan dengan menggunakan alat difusi model Goldberg dan Higuchi yang dimodifikasi pada suhu 30°C, 37°C, dan 45°C. Hasil percobaan menunjukkan bahwa difusi astemizol melewati membran yang diimpregnasi dengan isopropil miristat mengikuti kinetika orde nol dengan energi penghalang adalah sebesar 6.251 kal/mol. Interaksi yang terjadi antara membran dengan astemizol berlangsung secara spontan. Berdasarkan harga entalpi ikatan yang terjadi terutama karena ikatan hidrogen, sedangkan harga entropi memberikan indikasi bahwa sistem menjadi lebih acak.

Kata kunci: Astemizol, difusi , membran impregnasi isopropil miristat

ABSTRACT
Astemizole is a potent H1 antihistamine and undergoes extensive metabolism in the liver. Transdermal delivery is one of the alternatives which could be used to overcome the metabolism. Stratum corneum exerts main barrier to the transdermal delivery and isopropyl myristate-impregnated Millipore membrane often be used to simulate the stratum corneum. The objective of this study was to examine the diffusion of astemizole through simulated-skin membrane which was prepared by impregnating Millipore membrane with isopropyl myristate. Receptor medium used was phosphate buffer solution of pH 6.0 and 0.01 M. The experiments were carried out by using modified diffusion cell model of Goldberg and Higuchi at temperatures of 30°C, 37°C, and 45°C. Results showed that astemizole diffusion through the membrane to follow zero-order kinetics with barrier energy of 6,251 cal/mole. Interactions between membrane and the drug was spontaneous. Based on the enthalpy value, the interactions were dominated by hydrogen bonding, meanwhile the entropy value indicates that the randomness of the system was increased.

Key words: Astemizole, diffusion, isopropyl myristate-impregnated membrane
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Article 2.
BIOAKUMULASI PESTISIDA ORGANOKLORIN DALAM IKAN BELANAK (Mugil sp.) DI PERAIRAN CILACAP
BIOACUMLATION OF ORGANOCHLORONES PESTISIDES IN BELANAK (Mugil sp.) AT CILACAP WATERS

Srimumpuni R. dan Sri Noegrohati (Bag. Kimia Farmasi, Fak. Farmasi UGM)

ABSTRAK
Pestisida organoklorin adalah senyawa sintetitik yang mempunyai aktivitas spektrum sangat luas, bersifat apolar dan persisten. Sifat tersebut menyebabkan penggunaan pestisida, menimbulkan banyak masalah kesehatan dan lingkungan. Terjadinya cemaran pada ikan dapat digunakan sebagai indikator bioakumulasi yang terjadi dalam air. Cemaran dapat ditemukan baik di perairan, udara dan tanah. Penelitian kadar organoklorin dalam ikan belanak ( Mugil sp,) dari perairan daerah Cilacap untuk mempelajari kadar bioakumulasi cemaran organoklorin yang terdapat di organnya. Sampling air dan ikan dilakukan di Sungai Donan, Segara Anakan, dan Selat Nusokambangan. Organoklorin disari dari sampel dan dilakukan clean up, dianalisis dengan kromatografi gas menggunakan detektor ECD. Sebagaian sampel air juga dianalisis sifat fisika dan kimianya untuk mengetahui habitat ikan belanak. Hasil menunjukkan bahwa harga faktor bioakumulasi (BAF) dari beberapa organoklorin berkisar antara 102 sampai 105
Kata Kunci: Pestisida organoklorin, persistent dan faktor bioakumulasi

ABSTRACT
Organochlorines pesticides are broad spectrum synthetic compounds, polar, and persistent causing a lot of problem on health and environment. The pollution effect of persistent pesticides is accumulated on biologic system in waters, air and lands. The concentration of those pesticides in fishes depend on the concentration level in environment. Therefore fish could be used as an indicator of organochlorines, and other pollutants bioaccumulation in water. The aim of this investigation is to study the level of organochlorines in water of Cilacap regional by measuring organochlorine residues founded in some tissues of Mugil sp. Samples of water and Mugil sp, were taken from Donan river, Segara Anakan and Nusakambangan straits. The organochlorines ware then extracted from the samples, and clean up, analyzed using Gas Liquid Chromatography, with ECD detector. In order to understand the habitat of Mugil sp., it was necessary to analyzed the chemical and physical value of water where the coresponding fish live. The result shown that the value of Bioaccumulation Factor (BAF) of some organochlorines detected were 102 until 105

Key Words: Organochlorines pesticide, persistent and bioaccumulation factor
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Article 3
AKTIVITAS LARVASIDA MINYAK ATSIRI DAUN JUKUT Hyptis suaveolens (L) Poit, TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti, INSTAR IV DAN ANALISIS KROMATOGRAFI GAS-SPEKTROSKOPI MASSA
LARVASIDE ACTIVITY OF JUKUT ESSENSIAL OIL Hyptis suaveolens (L) POIT LEAVES TOWARD INSTAR IV OF Aedes aegypti LARVAE AND GAS CHROMATOGRAPHY-MASS SPECTROSCOPY ANALYSIS

Noegroho, S.P*, Srimulyani* dan Mulyaningsih, B** (*Bag. Biologi Farmasi, Fak. Farmasi UGM. **Bag. Parasitiologi FK UGM)

ABSTRAK
Tumbuhan Jukut (Hyptis suaveolens (L) Poit) termasuk suku Labiatae yang mengandung monoterpen dan sekuiterpen, digunakan oleh masyarakat untuk ramuan obat tradiosinal, seperti penolak serangga, anti spasmodik, dan anti rematik. Penelitian ini untuk mengatahui sifat larvasida sari minyak atziri daun jukut terhadap larva Aedes aegypti dan menganalisis senyawa tersebut dengan kromatografi gas spektroskopi-massa (GC-MS). Minyak atsiri yang diperoleh dengan penyulingan air dan uap air, dipekatkan, kemudian diuji aktivitas larvasidanya terhadap Aedes aegypti instar IV dengan pembanding Abate. Minyak atsiri yang diperoleh diuji sifat indeks bias, kelarutan, dan kromatografi gas-spektro massa. Percobaan larvasida ditemukan LC50 dan LC90 minyak = 393,69 ppm dan 1145,92 ppm, sebaliknya abate hanya mempunyai harga 0,05 dan 0,21 ppm. Analisis komponen dengan gas kromatografi-Spektrokopi -Massa diperoleh 16 puncak kromatogram, dan 8 puncak yang teridentifikasi bila dibandingkan dengan National Institute of Standard Technology (NIST). Senyawa tersebut adalah; 3-karen, bisiklo-3,1,1 heksan, beta-pinen, alfa-felandren, gama-terpinen, 3-sikloheksan-1-ol, beta-kariofilen dan alfa-kariofilen.

Kata kunci: Jukut ( Hyptis suaveolens (L) Poit), komponen minyak atsiri dan larvasida.

ABSTRACT
Jukut (Hyptis suaveolens (L), Poit) is a heap of Labiatae family. It has been known as a component of tradional medicine and has activity as insect-repellent, anti spasmodic and anti rheumatic. The chemical content of this plant known as essential oil consisting of monoterpene and sesquiterpene. The study on the essential oil extract of Hyptis suaveolens L Poit is to investigate the larvaside activity towards Aedes aegypti larvae. Furthermore the structure of some compounds found in essential oil were analyzed using Gas chromatography-mass spectrometer. The fresh leaves of Hyptis suaveolens (L), Poit was extracted by petroleum ether, or ethanol using Soxhlet, and steam distillation. The essential oil was applied toward Aedes aegypti larvae Instar IV to study the larvacide activity using abate as a standard. The physical properties of the essential oil, such as refraction index, solubility, were also identified. The Limit Concentration (LC)50 and LC90 of the oil were 393,69 ppm and 1145,92 ppm respectively, whereas the abate was only 0,050 ppm and 0,21 ppm respectively. The results of essential oil analysis using gas chromatography-mass spectrometer was found 16 compounds. However, if the data was compared to that of National Institute of Standard Technology (NIST) the eight compounds could be identified. Those compounds were bicycle 3,1,1-hexene; beta pinen, alfa-phellandrene, gamma-terpeninen, 3-cyclo-hexane-1-ol; beta-caryophyllene and alfa-caryophyllene.

Key Words: Jukut (Hyptis suaveolens (L), Poit , essential oil and larvaside
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Article 4.
DAYA REDUKSI KURKUMIN DAN TURUNANNYA (4-ALKIL-KURKUMIN) TERHADAP ION FERRI YANG DIUJI DENGAN METODE ORHO-FENANTROLIN KOMPLEKS
THE REDUCTION ABILITY OF CURCUMIN AND ITS DERIVATIVE (4-ALKYL-CURCUMIN) TOWARD FERRI ION AND ASSYED USING ORTHO-FENANTHROLIN COMPLEX

Wuryantoko, T. dan Supardjan AM. (Bagian Kimia Farmasi, Fak. Farmasi UGM)

ABSTRAK
Kurkumin yang mempunyai gugus atom C 4, diapit oleh gugus karbonil, menurut Tonnesemn dan Greenhill, mempunyai sifat reduktor. Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan sifat reduktor kurkumin dan turunannya (4-alkil-kurkumin) terhadap ion ferri, yang diuji dengan orto-fenantrolin kompleks. Substitusi pada atom C-4, dengan gugus alkil mempunyai sifat sebagai pendorong elektron akan merubah daya reduksi kurkumin. Larutan kurkumin ditambah larutan dalam air atau metanol ferriklorida dan larutan o-fenatrolin sebanyak 4.10-4M dicampur dan diencerkan sampai tertemtu. Percobaan lain dengan campuran yang sama ditambah larutan EDTA sebagai pengomplek untuk kontrol dan setelah 3 jam besarnya serapan dibaca pada 510 nm. Hasil menunjukkan bahwa kemampuan reduksi kurkumin dan derivatnya mempunyai urutan sebagai berikut; 4-metil-kurkumin > 4-benzil-kurkumin > 4-isopropil-kurkumin > kurkumin > 1,7-difenil,(1,6-heptadien 3,5-dion) atau kurkumin taktersubsitusi. Dari data yang diperoleh ternyata efek sterik gugus pensubstitusi atom C-4, lebih dominan pengaruhnya dari pada sifat pendorong elektron. Substitusi metil sifat pendorongnya paling lemah dan sifat striknya terkecil, tetapi sifat reduksinya terbesar dibanding turunan kurkumin yang diuji. Hilangnya gugus metoksi dan gugus hidroksi pada cincin aromatis menurunkan daya reduksi terhadap ion ferri.

Kata kunci: Turunan kurkumin, daya reduksi, gugus sterik alkil

ABSTRACT
Reductivity of curcumin due to the presence of two carbonyl groups flanking by carbon atom (C4). This study was to investigate the reduction ability of curcumin derivatives substituted with alkyl on C-4. The cucurmin and its derivatives solution in water or methanol was combined with ferri chloride solution, and o-fenanthroline solution. The mixture of curcumin and its derivatives solution and ferri chloride solution, was added with ethylen diamine solution and was then added o-fenantholin solution. After this mixture was withstand for three hours, eventually was assayed spectrophotometrically at 510 nm. The result shown that the reduction ability of curcumin derivatives were as follows; 4-metil-curcumin > 4-benzil-curcumin > 4-isopropil-curcumin > kurkumin > unsubstitueted curcumin. Therefore that 4-methyl curcumin more easily released the electron and reduced the ferri ion. It was suggested that the steric hinderence of alkyl substitution influenced the reduction ability, and the more bulky the substituent of alkyl would decrease the reduction ability. The unsubstituted curcumin reduced ability to ferri ion.
Key Words: Curcumin derivatives, reduction ability, and steric hinderence of alkyl.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Article 5.
PERANAN MIKROBA DALAM LUMPUR AKTIF DARI LIMBAH RUMAH TANGGA TERHADAP BIODEGRADASI CEMARAN LEMAK, AMILUM DAN PROTEIN
THE CONTRIBUTION OF MICROBES OF HOUSEHOLD WASTE WATER SLUDGE ON THE BIODEGRADTION OF FATS, AMYLUM AND PROTEIN

Sumarno (Bagian Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta)

ABSTRAK
Cemaran utama yang terdapat dalam limbah rumah tangga berupa lemak, amilum dan protein, berasal dari sisa makanan keluarga sehari-hari. Cemaran tersebut akan mengalami biodegradasi oleh mikroba yang terdapat dalam lumpur aktif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan mikroba yang aktif melakukan biodegradasi. Mikroba diisolasi dari sludge atau lumpur aktif limbah rumah tangga dengan menggojog menggunkan asam nitrat 0,01N dan kemudian disentrifugasi, dan beningan digunakan sebagai isolat mikroba. Mikroba dibiak an pada media minimum cair (pH=8,0). mengandung agar nutrien 0,01%, susu kedele 0,01%, dan kelumit unsur logam. Isolat mikroba yang telah dibiak an ulang dengan Optical Density 0,5 digunakan sebagai sumber mikroba. Mikroba tersebut diinkubasikan selama 15 hari, dengan sampel yang telah disuci hamakan bersama medianya dalam tabung hampa udara pada suhu 37°C. Setiap 48 jam sisa biodegrasi diuji kadarnya dengan metode yang sesuai (Spektrofotometrik, kromatografi gas cair dan kromatografi cair kinerja tinggi). Hasil menunjukkan bahwa peranan mikroba pada biodegradasi asam organik dan asam lemak akan makin lambat bila rantai atom C makin panjang, tetapi keberadaan ikatan rangkap akan mempercepat biodegradasi. Kecepatan biodegaradasi terhadap beberapa polisakarida tidak dapat dibedakan, sedangkan terhadap protein terlihat perbedaan yang jelas antara kecepatan biodegradasi albumin dan kasein.

Kata kunci: Biodegradasi, lemak, protein dan polisakarida

ABSTRACT
The major pollutant found in waste water of household consist of lipid, protein and polysaccharides foods that were degraded by microbes living in sludge of waste water. The aim of this study was to investigate biodegradation rate, performed by those microbes present in the sludge. Microbes were isolated from sludge by shaking with 0.01 N nitric acid, centrifugated and the supernatant was kept as microbes isolate. These microbes were inoculated, in minimum growth liquid media,(pH 8.0) containing 0,01% nutrient agar, 0,01% soyabean milk and trace elements and was then incubated at 37°C. The microbes inoculation (OD ~ 0,5) were incubated with sterilized samples for 15 days in vacuum tubes at 37°C. The undegradable samples were assayed using suitable methods (spectrophotometric, gas liquid chromatography and high performance liquid chromatography) every 48 hours. The result exhibited that the rate of organic acid and lipid biodegradation considerably depended on the length of carbon chain, the longer the slower. The presence of unsaturated bond increased the rate of biodegradation. The rate of variety polysaccharide biodegradation could not be distinguished, whereas the rate of casein biodegradation was significantly differ from that of albumin.

Key words: Biodegradation, lipid, protein and polysaccharide
-------------------------------------------------------------------------------------------------
(Gimana ?, bagus kan !, mudah-mudahan beberapa Artikel di atas bisa membantu kamu dalam menulis Skripsi/karya ilmiah mu. Selamat belajar dan bertugas, jangan lupa berdoa yah ! Selesaikan DIII/S1 mu secepat mungkin. Semangat !!!)

SEJARAH DAN FILSAFAT FARMASI

Berbagai konsep dasar dan teori dalam ilmu fisiologi, patologi, farmakologi, farmakognosi, fitokimia, kimia analisis, kimia sintesis, kimia medisinal, farmasetika/formulasi obat dapat ditemukan pada tiap jaman dalam sejarah perkembangan kefarmasian. Mitologi, konsep dan praktek pengobatan, praktisi/profesi pengobatan, bentuk sediaan obat serta bahan obat di berbagai jaman atau di suatu kebudayaan tertentu ternyata tidak hanya mendasari dan mempengaruhi perkembangan ilmu kefarmasian dan ilmu kedokteran saat ini; namun juga mendasari dan mempengaruhi perkembangan ilmu pengobatan tradisional di suatu suku bangsa tertentu, bahkan beberapa konsep dasar masih dipakai dalam sistem pengobatan tersebut.

Pada pokok bahasan kali ini akan dijelaskan berbagai pemikiran filosofis, berbagai aspek dan perkembangan ilmu kefarmasian berdasarkan urutan sejarah yang dimulai dari jaman pra sejarah, jaman Babylonia-Assyria, jaman Mesir kuno, jaman Yunani kuno dan jaman abad pertengahan.
Falsafah Obat dan Pengobatan
Semenjak dunia terkembang dan dihuni oleh manusia serta makhluk hidup lainnya mungkin sudah ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya. Keadaan “sehat” dan “sakit” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan; ini berlaku bagi semua makhluk hidup : di dunia insani, dunia hewani maupun di dunia tumbuh-tumbuhan sekalipun1. Bagi makhluk hidup, mengobati suatu penyakit atau gangguan adakalanya merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Di dunia tumbuh-tumbuhan dikenal suatu produk metabolisme selain produk metabolisme utama yang disebut sebagai metabolit sekunder. Beberapa contoh metabolit sekunder misalnya : alkaloida, glikosida, terpenoid, flavonoid dan lain sebagainya merupakan racun bagi makhluk lainnya2. Seekor binatang yang sehat tidak akan memakan daun oleander yang mengandung glikosida yang berbahaya bagi jantung, juga tidak akan ada yang memakan daun kecubung yang mengandung alkaloida golongan tropan yang bekerja sebagai antikolinergik/parasimpatolitik yang sangat beracun. Umumnya tumbuhan yang mengandung zat beracun tersebut tidak akan mendapat gangguan dari binatang, karena secara naluriah akan dihindarinya.

Sekarang bagaimana dengan seekor binatang yang sakit? Secara naluriah seekor binatang yang sakit akan mencari sesuatu dari alam sekelilingnya demi untuk mempertahankan hidupnya. Cukup sering dilihat seekor anjing atau kucing mencari rerumputan atau daun-daunan tertentu; yang memiliki efek memabukkan/membunuh cacing dan sekaligus mengeluarkan/memuntahkannya dari saluran pencernaannya. Dengan demikian ia “mengobati dirinya sendiri” dengan mensuplai tubuhnya dengan bahan/zat/hara yang diperlukannya. Sebagai ilustrasi dari mempertahankan eksistensi atau keturunan ialah ayam petelur yang lepas (bukan ayam broiler) mematuk atau mencukil dinding tembok untuk mendapatkan zat kapur yang diperlukan untuk pembentukan kulit telur. Kekurangan akan zat kapur disuplainya secara naluriah.

Bagaimana keadaannya dengan manusia?Yang membedakan manusia dengan hewan adalah “akal”. Akan tetapi, manusia purba dan manusia yang masih hidup primitif (dimana akal masih kurang berkembang) eksistensinya hidupnya juga masih banyak dipengaruhi oleh nalurinya. Bagaimana keadaannya dengan manusia primitif yang sakit atau kekurangan akan suatu zat/hara dalam sistem faalnya? Contoh berikut dapat memberikan suatu gambaran : suatu suku bangsa primitif mempunyai kebiasaan memakan tanah. Mulanya hal ini mengherankan, tetapi setelah diadakan penelitian lebih mendalam ternyata ada dua hal yang berkaitan : pertama, tanah yang dimakan banyak mengandung zat besi (Fe); kedua, diit sehari-hari suku tersebut kurang akan zat besi. Secara naluriah suku itu mencari zat besi dari tanah, sehingga mereka tidak akan menderita penyakit anemia karena kekurangan zat besi .
Farmasi Jaman Pra Sejarah
Diantara beberapa karakteristik yang unik dari Homo sapiens adalah kemampuannya untuk mengatasi penyakit, baik fisik maupun mental dengan menggunakan obat-obatan. Dari bukti arkeologi didapatkan bahwa pencarian terhadap obat-obatan setua pencarian manusia terhadap peralatan lain. Seperti halnya bebatuan yang digunakan untuk pisau dan kapak, obat-obatan pun jarang sekali tersedia dalam bentuk siap pakai. Bahan-bahan obat tersebut harus dikumpulkan, diproses dan disiapkan; kemudian digabungkan menjadi satu untuk digunakan dalam pengobatan. Aktivitas ini, telah dilakukan jauh sebelum sejarah manusia dimulai dan sampai sekarang tetap menjadi fokus utama praktek kefarmasian.

Manusia purba belajar dari insting atau naluri, dengan melakukan pengamatan terhadap hewan. Pertama kali mereka menggunakan air dingin, sehelai daun, debu, bahkan lumpur untuk pengobatan4. Naluri untuk menghilangkan rasa sakit pada luka dengan merendamnya dalam air dingin atau menempelkan daun segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan lumpur, hanya berdasarkan kepercayaan. Manusia purba belajar dari pengalaman dan mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari yang lain. Dari sinilah permulaan terapi dengan obat dimulai. Mereka menularkan pengetahuan ini kepada sesamanya. Walupun metode yang mereka gunakan masih kasar, akan tetapi banyak sekali obat-obatan yang ada saat ini diperoleh dari sumbernya dengan metode sederhana dan mendasar seperti yang telah mereka lakukan.
Farmasi Jaman Babylonia-Assyria
Pada daerah selatan kerajaan Babylonia (sekarang Iraq), bangsa Sumeria telah mengembangkan sistem tulis-menulis sekitar tahun 3000 SM sehingga mereka telah memasuki periode sejarah. Bangsa Babylonia melakukan observasi terhadap planet-planet dan bintang-bintang yang mendasari ilmu astronomi dan astrologi saat ini. Kedudukan dan gerakan bintang-bintang diduga mempengaruhi kejadian di bumi. Kepercayaan ini kemudian diadopsi oleh ilmu kedokteran dan kefarmasian berikutnya. Bangsa Sumeria dan pewarisnya yakni bangsa Babylonia dan Assyria telah meninggalkan ribuan tablet lempung dalam puing-puing peninggalan mereka sebagai salah satu peninggalan peradaban manusia yang paling berharga. Sejarah mereka terkubur rapat-rapat dalam tablet lempung tersebut hingga berabad-abad berikutnya sekelompok sejarahwan berhasil mengungkap “bagian yang hilang” dari catatan-catatan kuno ini.

Dari penelitian terhadap catatan-catatan kuno tersebut disebutkan 3 aspek yang paling berpengaruh dalam ilmu pengobatan Babylonia-Assyria yakni : ketuhanan (divination), pengusiran roh jahat/setan (excorcism) dan penggunaan obat-obatan. Tiga aspek tersebut merupakan satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Penyakit adalah kutukan atau hukuman Tuhan, sedangkan pengobatan adalah pembersihan/pensucian dari kedua hal tersebut. Konsep tersebut dikenal sebagai katarsis (catharsis). Konsep ini menjelaskan makna asli kata “pharmakon” (Yunani), yang merupakan asal kata pharmacy (farmasi). Konsep pharmakon dijelaskan sebagai berbagai usaha penyembuhan atau pensucian dengan cara mengeluarkan atau membersihkan. Yang menarik, di dalam farmakologi (ilmu tentang obat dan mekanisme kerjanya) dikenal obat katartik atau pencahar, yakni obat yang bekerja meningkatkan motilitas kolon (usus besar) sehingga meningkatkan pengeluaran tinja (feses).

Para pendeta di masa itu berperan sebagai rohaniwan (diviner) dan pengusir setan, yang mendukung peran mereka sebagai penyembuh/dokter. Dalam literatur lain disebutkan bahwa terdapat pemisahan profesi penyembuh di antara bangsa Babylonia, yakni penyembuh empiris dan penyembuh yang spiritualis. Penyembuh spiritualis dikenal sebagai asipu, yang menekankan pada penggunaan mantra/doa-doa bersama dengan batu-batu bertuah/jimat-jimat dalam pengobatan.

Pada salah satu tablet lempung tercatat adanya mantra/doa yang tertulis di awal dan di akhir suatu formula obat. Mantra/doa tersebut diharapkan memberi kekuatan menyembuhkan kepada obat-obatan yang telah dibuat. Fenomena ini mungkin masih sering dijumpai di berbagai pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif bangsa kita. Penyembuh empiris dikenal sebagai asu, yang menggunakan obat/ramuan tertentu dalam bentuk sediaan farmasi yang sekarang masih digunakan seperti : pil, supositoria, enema, bilasan, dan salep. Kedua penyembuh tersebut seringkali bekerjasama dalam menangani penyakit yang berat/sulit disembuhkan. Selain kedua penyembuh tersebut terdapat sekelompok orang yang juga meracik obat dan kosmetik yang disebut pasisu. Akan tetapi peranan dan kedudukan mereka dalam pengobatan belum diketahui secara pasti.
Obat-obatan

R. Campbell Thompson mendapatkan ratusan tablet lempung dari hasil penggalian perpustakaan raja Assurbanipal dari Assyria. Thompson telah berhasil mengidentifikasi 250 tanaman obat dan 120 obat-obat mineral, juga minuman beralkohol, lemak dan minyak, bagian tubuh hewan, madu, lilin, serta berbagai susu yang digunakan dalam pengobatan. Bahkan juga dikenal penggunaan kotoran (tinja) hewan atau manusia dalam salah satu metode pengobatan bangsa Babylonia-Assyria. Kotoran tersebut diharapkan dapat membuat jijik dan mengusir roh jahat yang merasuki tubuh pasien dengan segera. Tumbuhan obat yang dikenal saat itu misalnya pine turpentine, styrax, galbanum, hellebore, myrrh, asafoetida, calamus, ricinus, mentha, opium, glycyrrhyza, mandragora, cannabis, crocus serta thymus. Sebagian besar tumbuhan tersebut masih digunakan untuk pengobatan hingga saat ini.

Berbagai bentuk sediaan yang ada meliputi anggur obat, mikstura, salep, enema, tapel, plester, losio, infusa, dekok dan fumigan. Pada catatan kefarmasian yang tertua (ditulis oleh bangsa Sumeria ± 4000 tahun yang lalu) terdapat berbagai macam formula obat, dimana komposisinya ditulis tidak kuantitatif sebagai berikut :

“Haluskan biji carpenter, gom resin markasi dan thymi; larutkan dalam bir untuk diminum”.

Hal ini cukup mengherankan mengingat mereka adalah penemu sistem pengukuran dan penimbangan yang memberikan kontribusi berharga kepada peradaban manusia.

Jimat, mantra dan sihir menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Mesopotamia. Seperti yang telah diuraikan, pada salah satu formula obat terdapat tulisan mantra/doa yang memberikan kekuatan menyembuhkan kepada obat yang dibuat. Bahan-bahan tertentu untuk membuat obat tersebut mungkin saja telah memiliki kekuatan menyembuhkan walaupun tanpa intervensi para pendeta melalui mantra atau doa-doa mereka yang sekarang kita kenal sebagai bahan yang aktif secara farmakologi. Namun demikian ada dua hal yang diwariskan kepada kita; yang pertama adalah pengetahuan tentang bahan-bahan tertentu yang memiliki kekuatan “supernatural” (terutama tumbuhan obat) dan yang kedua adalah konsep mempengaruhi fungsi tubuh dengan menggunakan bahan-bahan (obat) tersebut, yang sekarang dikenal sebagai farmakoterapi.

Mitologi dan Seni Pengobatan

Dewa Ea dan Gula adalah dewa-dewa bangsa Babylonia-Assyria yang paling sering disebut dalam mantra-mantra yang terdapat dalam formula-formula obat. Dewa pengobatan yakni Ninazu, adalah pelindung para penyembuh/pendeta. Sedangkan putranya yakni Ningischzida adalah nabi mereka. Suatu hal yang cukup menarik adalah simbol kedua dewa tersebut adalah tongkat dan ular, yang mengingatkan simbol ilmu kedokteran modern yang diadopsi dari bangsa Yunani ratusan tahun kemudian.
Farmasi Jaman Mesir Kuno
Piramida yang masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini merupakan bukti kekuatan dan kejayaan bangsa Mesir selain pembalseman mayat-mayat (mumi), lukisan dinding dan harta benda di kompleks-kompleks pemakaman. Bangsa Mesir mencatat kejadian-kejadian pada saat itu atau ide-ide mereka (misalnya sistem pengairan dan pertanian) dengan menulisnya di papyrus atau dalam bentuk hyeroglyph mulai tahun 3000 SM, sebelum mereka mengembangkan peradaban dengan teknologi metalurgi (penempaan logam) yang maju. Mereka berdagang dan kadang berperang dengan negeri-negeri sekitarnya di sebelah timur Mediterania dan Afrika.

Seperti halnya di Babylonia, pada catatan peninggalan Mesir menunjukkan hubungan yang dekat antara penyembuhan supranatural dengan penyembuhan empiris. Resep/formula obat biasanya diawali dengan doa atau mantra tertentu. Di dalam formula-formula tersebut disebutkan obat-obat yang lebih rumit, bentuk sediaan yang lebih banyak dan teknik pembuatan yang mendetil. Mungkin yang paling terkenal dari catatan yang ada adalah Ebers Papyrus, suatu kertas bertulisan yang panjangnya 60 kaki dan lebarnya satu kaki dari abad ke-16 SM. Dokumen ini sekarang berada di University of Leipzig, untuk mengingat seorang ahli tentang Mesir, berkebangsaan Jerman, bernama Georg Ebers, yang menemukan dokumen tersebut di kuburan suatu mumi dan menerjemahkannya sebagian, selama setengah dari akhir abad ke-19.

Sebagaian besar isi Papirus Ebers adalah formula-formula obat, yang menguraikan lebih dari 800 formula. Selain itu disebutkan juga sekitar 700 obat-obatan yang berbeda. Obat-obatan tersebut terutama berasal dari tumbuhan walupun tercatat juga obat-obatan yang berasal dari mineral dan hewan. Obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sampai sekarang masih dipakai, antara lain seperti akasia, biji jarak, adas, disebut bersama-sama dengan yang berasal dari mineral, seperti besi oksida, natrium bikarbonat, natrium klorida dan sulfur. Kotoran hewan juga digunakan dalam pengobatan seperti halnya di Babylonia. Dalam literatur lain disebutkan bahwa psyllium disebutkan dalam Papirus Ebers dan dikenal sebagai laksatif dan antidiare sekitar tahun 1500 SM. Saat ini psyllium lebih dikenal dengan nama dagang Metamucil yang sering dijumpai di apotek.

Bahan pembawa sediaan (vehiculum) yang dipakai adalah bir, anggur, susu dan madu. Madu dan lilin juga sering digunakan sebagai bahan pengikat (binders) dalam formula-formula tersebut. Mortir, penggiling tangan, ayakan dan timbangan biasa digunakan oleh orang Mesir dalam membuat supositoria, obat kumur, pil, obat hisap, troikisi, lotio, salep mata, plester dan enema; seperti halnya dalam peracikan obat-obatan (teknologi farmasi) saat ini.

Berbeda dengan formula-formula bangsa Babylonia yang ditulis secara kualitatif saja, formula-formula Mesir kuno ditulis secara kuantitatif. Dikenal satuan ro (1 ro = ± 15 ml). Selain itu juga ditulis lama pengobatan (terapi) empat hari yang merupakan lama pengobatan yang umum di Mesir saat itu, yang mungkin lebih menekankan aspek “sihir”nya dibanding hasil observasi klinis. Di bawah ini adalah salah satu contoh formula tersebut :

Formula untuk membersihkan purulensi :
Hyoscyamus 20 ro
Dates 4 ro
Wine 5 ro
Ass’s milk 20 ro
Di rebus, dipekatkan dan diminum selama empat hari

Salinan formula-formula obat disebarluaskan dari satu penyembuh ke penyembuh lainnya, juga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kadangkala sebagian obat diambil dari formula aslinya dan dikombinasikan begitu saja dengan obat-obat lain dari formula yang berbeda. Kemungkinan besar hal ini merupakan awal munculnya pengobatan yang disebut dengan “polifarmasi” (poli = banyak, farmasi = obat) yang kelak diketahui sebagai salah satu metode pengobatan yang tidak rasional.

Mitologi Mesir

Praktek kefarmasian telah dikenal dalam mitologi Mesir. Seperti halnya di Babylonia, bangsa Mesir juga mengenal dewa-dewa yang berpengaruh dalam pengobatan seperti Thoth, Osiris, Isis, Horus dan Imhotep. Salah satu simbol yang menghubungkan praktek kefarmasian saat ini dengan mitologi kuno adalah simbol Rx, yang dijumpai dalam penulisan resep di seluruh dunia. Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa simbol tersebut berasal dari simbol mata Horus, dewa elang bangsa Mesir. Horus selalu mengawasi setiap proses pembuatan obat, sebagai simbol bahwa profesi farmasis selalu mendapat pengawasan dari Tuhan sehingga setiap pelaku profesi ini harus selalu bekerja dengan baik, cermat dan jujur karena Tuhan selalu melihat dan mengawasi mereka.

Horus ditugaskan oleh Isis, ibunya sebagai penjaga balai pengobatan (house of medicine) para dewa. Sedangkan tugas menjaga bejana pembalseman diberikan kepada dewa lain, yakni anepu (bangsa Yunani menyebutnya anubis) yang mungkin dianggap sebagai farmasis para dewa selain sebagai dewa kematian.
Farmasi Jaman Yunani Kuno
Pada milenium berikutnya, akar dari profesi kesehatan di dunia Barat muncul dan berkembang dari peradaban bangsa Yunani di kepulauan dan laut Aegea. Bangsa Yunani mendapatkan berbagai stimuli dan pengaruh dari luar yakni dari Mesopotamia dan Mesir, walaupun jika dibandingkan terdapat perbedaan yang sangat besar antara obat dan bentuk pengobatan yang digunakan.

Mitologi Yunani

Dalam mitologi Yunani yang dikenal sebagai dewa pengobatan awalnya adalah Apollo, yang kemudian digantikan oleh Asklepios (Aesculapius), setelah Apollo dibunuh oleh Zeus, raja para dewa. Apollo mendapatkan pengetahuan tentang obat-obatan dari Chiron, bangsa Centaur (manusia dengan dua tangan dan berbadan kuda, lambang bintang Sagitarius). Dalam melakukan tugasnya, Asklepios dibantu oleh dua orang putrinya yakni Hygea dan Panacea. Pada masa itu didirikan balai pengobatan atau Sanctuary untuk memuja Asklepios dan kedua putrinya. Mereka yang telah lama mengalami penderitaan akibat penyakit pergi ke kuil dewa Asklepios, kemudian tidur dengan harapan akan dikunjungi oleh dewa atau putrinya Hygeia yang membawa ular dan semangkuk obat dalam mimpinya. Ular dan mangkok tersebut kemudian menjadi simbol farmasi, bahkan telah diadopsi menjadi simbol ilmu kesehatan. Tongkat Asklepios diadopsi menjadi simbol kedokteran di seluruh dunia. Selanjutnya, dikenal tumbuhan Panacea yang dianggap memiliki berbagai khasiat atau dapat menyembuhkan segala macam penyakit (obat dewa).

Filsafat Yunani dan Pengaruhnya dalam Konsep Kesehatan

Bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama kali menguraikan secara sistematis fenomena di alam dan kedudukan manusia di dalamnya, yang sekarang dikenal sebagai filsafat. Istilah “philosopher” berasal dari bahasa Yunani philos (teman) dan sophia ( kebijaksanaan) yang berarti kebijaksanaan telah terdapat di dalam setiap orang yang berusaha mencarinya dan kebijaksanaan akan menjadi temannya. Sebagian besar para filsuf berusaha menjelaskan secara rasional tentang alam dan fenomena yang terjadi di dalamnya termasuk kaitannya dengan seni pengobatan. Masalah yang sering dihadapi oleh para filsuf tersebut adalah : penjelasan rasional apakah yang bisa didapatkan dari asal-usul dunia dimana manusia hidup di dalamnya dan asal-usul penyakit yang diderita oleh manusia. Yang paling menarik adalah ide tentang sesuatu yang esensial dan fundamental di mana segala sesuatu berasal daripadanya. Berikut ini disenaraikan beberapa filsuf Yunani yang ide dan pandangannya mempengaruhi konsep kesehatan dan penyakit.

Empedocles (504 SM)

Empedocles mengemukakan ide bahwa ada 4 unsur yang menjadi akar dari segala sesuatu termasuk tubuh hewan dan manusia yakni : air, udara, api dan tanah. Teori ini disebut sebagai teori 4 elemen.
Menurut Empedocles dan para pengikutnya sehat merupakan keseimbangan dari keempat elemen tersebut, sedangkan sakit disebabkan karena ketidakseimbangan keempat elemen tersebut.

Phytagoras (580-489 SM)

Phytagoras mengemukakan ide bahwa hubungan antara nada dengan lamanya suatu akor (chord) bervibrasi dapat dinyatakan dalam angka-angka tertentu. Para pengikut sekte Phytagorean (pengikut Phytagoras) menghubungkan ide Phytagoras ini dengan angka mistis 7 bangsa Babylonia-Assyria. Angka 7 (tangga nada do sampai si) dianggap penting karena menunjukkan adanya hubungan antara 7 planet sebagai simbol 7 dewa dengan 7 logam yang dikenal saat itu. Diasumsikan bahwa dewa-dewa mempengaruhi kejadian di bumi termasuk sehat, sakit dan lain sebagainya melalui planet-planet. Secara bertahap, pengaruh tersebut lebih mengacu kepada planet-planet itu sendiri, dimana posisi planet-planet tersebut berhubungan dengan pengaruhnya di bumi. Inilah awal berkembangnya ilmu astronomi dan astrologi. Dalam kefarmasian bangsa Mesopotamia awal, astrologi berpengaruh kepada kapan suatu tumbuhan (sebagai bahan obat) harus dipanen, dan bahkan kapan suatu obat harus diracik.

Hippocrates (460-370 SM)

Hippocrates adalah seorang dokter Yunani yang dihargai karena memperkenalkan farmasi dan kedokteran secara ilmiah. Dia menerangkan obat secara rasional, dan menyusun sistematika pengetahuan kedokteran serta meletakkan pekerjaan kedokteran pada suatu etik yang tinggi. Pemikirannya tentang etika dan ilmu kedokteran memenuhi tulisan-tulisan ilmu kedokteran, baik yang ditulisnya sendiri maupun penerusnya. Konsep dari pandangannya disusun dalam bentuk sumpah Hippocrates, yang merupakan tata cara dan perilaku untuk profesi kedokteran. Hasil pekerjaannya termasuk uraian dari ratusan obat-obatan. Sebagai pelopor dalam ilmu kedokteran dan ajarannya yang memberikan inspirasi serta falsafahnya yang sudah maju dan merupakan bagian dari ilmu kedokteran modern, Hippocrates diberi penghargaan yang tinggi dan disebut sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”.

Di dalam korpus (corpus) atau kumpulan naskah Hippocrates terdapat konsep keseimbangan 4 cairan tubuh (humor) yang menggantikan konsep 4 elemen Empedocles sebagai faktor penyebab keadaan sehat atau sakit. Di dalam konsep ini disebutkan bahwa 4 elemen dalam alam seperti : tanah, udara, air dan api pararel dengan 4 cairan tubuh yang paling berpengaruh yakni : empedu hitam (black bile), darah (blood), cairan empedu (yellow bile) dan dahak (phlegm). Keseimbangan dan distribusi keempat cairan tubuh tersebut sangat penting bagi makhluk hidup.

Pengobatan yang utama menurut kaum Hippocratean (pengikut Hippocrates) adalah digunakannya bahan-bahan yang memiliki efek purgatif (pencahar kuat), sudorifik (meningkatkan pengeluaran keringat), emetik (memuntahkan) dan enema (cairan urus-urus, umumnya disemprotkan ke dalam anus). Pada intinya bahan-bahan tersebut digunakan untuk mengobati penyakit yang dipercaya pada saat itu, disebabkan oleh kelebihan cairan tubuh. Proses penyembuhan tersebut dikenal sebagai pembersihan, pemurnian atau penyucian tubuh (body catharsis). Konsep ini merubah makna kata pharmakon sebelumnya, yang mengacu kepada jimat atau guna-guna (baik menyembuhkan atau meracuni) menjadi bahan-bahan pembersih atau penyuci tubuh (purifying remedy).
Farmasi Abad Pertengahan
Pada permulaan era agama Kristen terdapat beberapa nama ilmuwan Yunani dan Romawi yang memberikan berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kedokteran. Berikut ini disenaraikan beberapa nama ilmuwan yang cukup dikenal tersebut.

Theophrastus (370-285 SM)

Penelitian besar-besaran terhadap tumbuh-tumbuhan (terutama untuk pengobatan) di dunia Barat pertama kali dilakukan oleh Theophrastus (± 370-285 sebelum Masehi), salah seorang murid Aristoteles. Dia mengumpulkan berbagai informasi dari para sarjana, bidan, pencari akar-akaran dan dokter keliling. Pengetahuannya baru bisa disamai 300 tahun kemudian oleh Dioscorides .

Dioscorides (Th 65 M)

Dioscorides adalah dokter Yunani yang juga sebagai ahli botani, merupakan orang pertama yang menggunakan ilmu tumbuh-tumbuhan sebagai ilmu farmasi terapan. Hasil karyanya de Materia Medica Libri Quinque, dianggap sebagai awal dari pengembangan botani farmasi dan dalam penyelidikan bahan obat yang diperoleh secara alami. Ilmu dalam bidang ini dikenal sebagai farmakognosi (pharmakon = obat, dan gnosis = pengetahuan). Banyak sekali obat-obatan yang ditemukannya seperti aspidium, opium, hyoscyamus dan kina masih digunakan sebagai obat sampai sekarang. Uraiannya tentang cara pengenalan dan pengumpulan hasil obat alami, cara penyimpanan yang benar dan cara mengenal pemalsuan atau pengotoran merupakan standar pada masa itu serta menjadi kebutuhan untuk pekerjaan selanjutnya dan sebagai petunjuk untuk peneliti berikutnya. De Materia Medica merupakan ensiklopedi obat standar selama ratusan tahun berikutnya .

Pliny

Pliny adalah seorang jenderal, duta dan diplomat Romawi yang memiliki hobi mengumpulkan berbagai pengetahuan ilmiah selama hidupnya. Pliny merupakan ilmuwan seangkatan dengan Dioscorides yang mempunyai minat dan sumber yang sama. Pliny menulis ensiklopedi yang diterjemahkan sebagai Natural History yang sebagian isinya menguraikan tentang obat.

Largus

Scribonius Largus adalah dokter Romawi yang menulis buku Compositiones sekitar tahun 43 M yang merupakan dispensatorium yang pertama. Di dalam naskah tersebut diuraikan berbagai simplisia (simplicia) dan campuran berbagai simplisia/obat (composita).

Galen (131-201 M)

Melalui tulisan dan ajaran Galen, seorang dokter Yunani yang berpraktek di Roma pada abad ke-2 Masehi, sistem pengobatan berdasarkan cairan tubuh mencapai kemajuan selama 1500 tahun kemudian. Galen menguraikan secara panjang lebar suatu sistem yang mengharuskan mempertahankan keseimbangan cairan di suatu individu yang sakit dengan menggunakan obat-obatan yang memiliki sifat berlawanan. Sebagai contoh, untuk mengobati radang atau inflamasi (in = di dalam dan flame = api, panas) eksternal digunakan mentimun yang bersifat dingin.

Galen telah memberikan pedoman yang bersifat rasional dan sistematis dalam memilih obat (walaupun pada saat ini dianggap salah). Menurut Galen, masing-masing keempat cairan tubuh memiliki sifat tertentu, yakni : darah bersifat lembab dan hangat, dahak (yang dianggap berasal dari otak) bersifat lembab dan dingin, empedu (yang dianggap berasal dari hati) bersifat hangat dan kering, serta empedu hitam (yang dianggap berasal dari limpa dan lambung) bersifat dingin dan kering. Selain itu, keempat cairan tubuh tersebut mempengaruhi sistem metabolisme dan temperamen seseorang, seperti melankolis atau sanguinis. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar. Dengan mengaitkan antara penyakit yang diobservasi dengan ketidakseimbangan cairan tubuh tertentu, obat-obatan dapat diklasifikasikan berdasarkan efek berlawanan yang ditimbulkan terhadap suatu penyakit. Sebagai contoh, jika dianggap bagian tubuh yang sakit bersifat lebih hangat 10 satuan dan lebih kering 7 satuan dari normal, maka obat yang diberikan di permukaan tubuh harus bersifat lebih dingin 10 satuan dan lebih lembab 7 satuan dari normal. Jika bagian yang sakit letaknya lebih dalam, dibutuhkan penyesuaian dosis agar obat tidak kehilangan kekuatannya sebelum mencapai target pengobatan.

Selain itu, Galen telah mengenalkan teknik “perdarahan”, yakni mengurangi volume darah yang dianggap banyak mengandung penyakit. Teknik ini diadopsi oleh orang-orang Islam pada jaman berikutnya yang dikenal sebagai bekam atau pengobatan Nabi (prophetic medicine). Teknik ini masih dipakai dalam sistem pengobatan Unani (Unani Arabic Medicine) sampai saat ini. Galen juga menyarankan penggunaan polifarmasi (banyak obat, sekarang dikenal sebagai “Shotgun Prescription”) dengan argumen tubuh pasien akan mengeluarkan berbagai obat yang kompleks tersebut untuk menjaga keseimbangkan cairan tubuh. Saat ini polifarmasi dikenal sebagai pengobatan yang tidak rasional. Meski demikian, Galen telah menciptakan suatu sistem yang sempurna mengenai fisiologi, patologi dan pengobatan serta merumuskan doktrin yang diikuti selama 1500 tahun. Dia adalah pengarang yang memiliki karya paling banyak di jamannya maupun jaman lain dan telah mendapat penghargaan untuk 500 buku tentang kedokteran serta 250 buku lainnya tentang filsafat, hukum maupun tata bahasa. Karya tulisnya dalam ilmu kedokteran termasuk uraian berbagai obat-obatan yang berasal dari alam dengan formula dan cara pembuatannya. Dialah orang pertama yang memperkenalkan teknik mencampur atau melebur masing-masing bahan. Teknik ini kemudian dikenal sebagai farmasi Galenik.
Sampai dengan awal abad VI era Kristen, belum terdapat kemajuan ilmu pengetahuan yang berarti bagi peradaban manusia hingga pada abad XII dan XIII beberapa ilmuwan Islam memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran dan kefarmasian sampai dengan era berikutnya. Ilmuwan dan filsuf Islam (Arab) tidak hanya mengadopsi ilmu pengobatan dan ilmu pengetahuan Yunani tetapi juga melengkapi, menyempurnakan dan bahkan mengoreksi naskah-naskah ilmuwan Yunani sebelumnya. Pada masa kejayaan Islam terdapat beberapa nama yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu kefarmasian. Berikut ini akan diuraikan beberapa ilmuwan Islam yang karya-karyanya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu kefarmasian berikutnya.

Al-Biruni (Abad XI)

Al-Biruni telah menyusun Materia Medika yang mendeskripsikan lebih dari 1000 macam simplisia. Selain melengkapi dan memperbaiki naskah Materia Medika Dioscorides, Al-Biruni telah menambah dan menguraikan berbagai jenis simplisia yang berasal dari Timur. Pada saat itu ilmu farmasi merupakan cabang ilmu kedokteran dengan keahlian khusus, yakni pembuatan dan penyiapan obat-obatan (simplisia).
Ibnu Sina (Latin : Avicenna th 1037 M)

Ibnu Sina telah menyusun buku yang berjudul Qonun fi Al-Tibh yang dikenal di dunia Barat sebagai Canon Medicine. Buku tersebut menguraikan 760 jenis obat secara komprehensif. Salah satu jenis obat yang diuraikan adalah obat jantung, yang saat itu belum banyak dibahas ilmuwan lain. Ibnu Sina merupakan Bapak Kedokteran Islam yang dihormati baik di dunia Timur dan Barat, seperti halnya ilmuwan Islam lainnya yang memberikan pengaruh ilmu kedokteran selama beberapa abad lamanya.
Praktek Kefarmasian
Pada jaman berikutnya Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan pada umumnya dan menjadi pusat ilmu kedokteran dan kefarmasian pada khususnya yang terletak di kota Baghdad, Iraq. Pada saat itu Baghdad merupakan kota metropolis yang menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Toko-toko obat, rempah-rempah dan parfum banyak bermunculan di jantung kota, demikian juga praktek-praktek dengan spesialisasi tertentu juga banyak bermunculan seperti halnya rhizotomii (pengumpul dan ahli rimpang atau jahe-jahean), seplasiarii (ahli parfum atau wangi-wangian) dan unguentarii (ahli salep) pada jaman Yunani kuno. Pada saat itu dikenal istilah Al-Attar, yakni orang yang ahli dalam rempah-rempah dan wangi-wangian. Di antara berbagai praktisi tersebut dikenal praktisi pengobatan yang terdidik yang disebut Sayadilah. Sayadilah mendapatkan ijin praktek khusus obat-obatan dari Muhtasib (penguasa setempat). Mereka memiliki toko untuk menjual simplisia obat (Apotek), kebun Materia Medika sebagai bahan baku simplisia obat serta laboratorium untuk meracik sediaan obat seperti halnya pil, plester atau sediaan galenika. Pada saat itu ilmu kefarmasian merupakan seni mengetahui Materia Medika dalam berbagai jenis dan bentuk. Sayadilah merupakan cikal bakal profesi farmasis (Apoteker) saat ini.